Sabtu, 22 Desember 2012

Sejarah Pabrik gula kebon agung Malang dan peranannya terhadap masyarakat sekitar

by. Harwin Galih Anugerah


Abstrak : Sejarah perkembangan perekonomian di Indonesia tentunya tidak bisa dilepaskan dari peranan perkebunan gula yang muncul sekitar abad 19 sebagai akibat dari adanya tanam paksa. Dari hal ini kemudian muncul lah banyak pabrik gula di Indonesia. Salah sataunya adalah yang berada di daerah Malang. Pada masanya Pabrik yang bernama PG Kebon Agung ini mempunyai peranan penting bagi ekonomi. Pabrik ini merupakan salah satu pabrik tertua yang ada di daerah Malang.
Kata Kunci : Pabrik Gula, Gula, Peranan, lapanagn pekerjaan

             PG Kebon Agung berlokasi di desa KebonAgung Pakisaji kabupaten Malang dengan ketinggian sekitar 480m dpl dan bertemperatur antara 26-27 derajat celsius dan berjarak kurang lebih sekitar 5 km dari jalan raya Malang dan Blitar. PG Kebon Agung yang didirikan tahun 1905 sedikit banyak mewarnai sejarah pergulaan di Indonesia, di wilayah Malang sendiri pada masa itu sudah banyak juga terdapat pabrik Gula yang lainnya. Awal berdirinya pabrik ini berasal dari surat ijin pemerintah Hindia Belanda yang diberikan kepada Caspar Joseph Pabst no 3 tahun 1902 yang berisi ijin untuk mendirikan sebuah pabrik gula di wilayah sengguruh Kabupaten Malang. Namun karena jeleknya harga gula pada masa itu C.J.Pabst tidak dapat mendapatkan modal sendiri untuk mendirikan pabrik ini meskipun dia sendiri adalah seorang penanam tebu. Pada masa selanjutnya ijin tersebut diambil alih oleh Ny. Sophie oosthoek istri seorang makelar kaya asal surabaya yang kemudian melimpahkannya kepada seorang pedagang chuna yang ada di surabaya yang bernama Tan Tjwan bie.
            Tan tjwan bie kemudian mengambil alih konsesi kebon agung untuk meneruskan dan mengelola pabrik itu. Namun dengan sedikitnya waktu yang didapatkan, Tan Tjwan Bie meminta perpanjangan waktu untuk pengusahaannya dari sebelumnya 21 Juli 1905 berakhir diundur hingga Desember 1906 dengan arti sebelum Juli 1905 telah dimulai proses pembelian tanah untuk pabrik itu dan juga proses pembangunan untuk pabrik. Sementara itu di pihak lain, para pabrik gula di wilayah Malang sendiri sedikit keberatan dengan didiriikannya pabrik tersebut, terutama PG yang berdekatan lokasinya dengan PG tersebut. Mereka takut akan terjadi perebutan lahan karena sebelumnya telah ditetapkan batas-batas kepemilikan tanah.
            Tepat tanggal 21 Juli 1905 atau batas awal akhir pembelian, PG kebon Agung berdiri dengan kepemilikan oleh Tan Tjwan Bie serta merupakan perusahaan perorangan hingga tahun 1917.  PG kebonagung memulai aktifitasnya tahun 1908 dengan produksi 8000 pikuls tebu atau setara dengan 5000 kuintal tebu perharinya. Tahun 1913 kapasitas produksi pabrik dinaikkan menjadi 10000 pikuls tebu perharinya. Dalam data tersebut juga dituilskan bahwa selama kepemilikan Tan Tjwan Bie telah terjadi pergantian Administrateur dari Kwee Lian Tik ke Tan Boen Tjiang.
            Pada tahun 1917 pengelolaan PG kebon agung diserahkan kepada Naamloze Vennotschap (NV) & Lanbow Maatschapij Tiedeman & van kerchem (TvK) yang sekaligus menjadi direksinya. Pada tanggal 20 Maret 1918 bentuk usaha yang semula perorangan dirubah menjadi usaha perseroan dengan nama NV Suikerfabriek Keboen Agoeng dan Tan Tjwan Bie sebagai direkturnya. Tahun 1920 di koran Java diberitakan bahwa dan yang digunakan untuk PG ini telah mencapai 2 juta Gulden dari sebelumnya yang hanya 10ribu Gulden. Untuk mengembangkan usahanya pada masa itu PG ini mencari kredit dengan menghipotikkan kepada De Javasche Bank daerah Malang. Namun karena terjadi depresi ekonomi tahun 1929 pabrik ini tidak mampu membayar tagihannya sehingga tahun 1932 seluruh saham perseroan tergadaikan dan pada tahun 1935 seluruh saham perseroan telah sepenuhnya dimiliki oleh De Javasche Bank. De Javasche Bank sebagai pemilik saham keseluruhan memiliki peranan sangat besar sehingga memliki keleluasaan dalam mengelola perusahaan.ketika bank ini menguasai PG Kedawoeng terjadi renovasi tahap I seperti yang terlihat pada bagian depan pabrik.
            Pada periode perang dunia II, terutama setelah serangan Jepang ke Pearl Harbour 8 Desember 1941, industri gula di Indonesia berpindah tangan dari pemerintah Hindia Belanda ke tangan Jepang. Pada masa ini banyak pabrik gula di Indonesia diubah fungsinya untuk keperluan perang Jepang, tak terkecuali PG Kebon Agung ini yang datanya tidak jelas namun konon pada masa itu PG kebon agung tidak memproduksi gula melainkan menggiling batu untuk keperluan pembangunan Jepang.
Setelah Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, terjadi banyak perebutan kekuasaan dengan tentara Jepang yang di lain pihak juga terjadi banyak pertempuran dengan Belanda yang ingin mengambil kembali tanah jajahannya. Hal ini juga terkait dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap Pergulaan Nasional karena terlalu sibuk mengurusi urusan politik yang masih carut marut di dalam negeri. Namun, setelah hal ini terjadi pemerintah mengeluarkan PP no. 3 Tahun 1946 tentang pendirian Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan PP no. 4 Tahun 1946 tentang Pusat Perkebunan Negeri (PPN) untuk mengurusi industri pergulaan yang sempat mandek selama masa Jepang.
Dengan berdirinya BPPGN dan PPN ini perkebunan Gula yang pada masa Jepang tidak bekerja sama sekali sedikit demi sedikit mulai ditat kembali untuk melanjutkan pekrejaannya yang sempat tertunda bertahun-tahun. Namun hal ini tidak bisa berjalan mulus begitu saja, ketika Agresi Militer Belanda I terjadi banyak pabrik gula dan gedung-gedung yang menjadi sasaran pengeboman Belanda, apalagi setelah Agresi Militer Belanda II banyak pabrik gula yang dikuasai Belanda. Hal ini membuat BPPGN dan PPN tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga pemerintah akhirnya membubarkan dua instansi Nasional ini terhitung sejak 21 Desember 1949.
Tanggal 8 Maret 1950 keluar pengumuman No. 2 tahun 1950 tentang pembentukan panitia pengembalian perusahaan perkebunan kepada pemiliknya yang diketuai oleh residen masng-masing yang salah satu tugasnya adalah untuk membri masukan kepada gubernir serta menginventarisasi perkebunan dan pabrik gula yang ada di Nusantara. Rehabilitasi pabrik gula mulai dilaksanakan setelah dikembalikan kepada pemiliknya, di Jawa Timur sendiri pada tahun 1952 terdapat 29 Pabrik Gula dalam keadaan baik (temasuk PG Kebon Agung), 5 dalam tahp rehabilitasi dan 34 dalam kondisi buruk. Pada periode ini terjadi peristiwa yang sangat penting yakni pada tanggal 16 November 1954 melalui rapat umum pemegang saham, diputuskan bahwa Tan Tjwan Bie diberhentikan secara hormat sebagi Direktur dan perseroan diberikan kepada Spaarfonds voor Beambten van De Bank Indonesia (Bank Indonesia). Pada rentang waktu itu PG Kebon Agung diserahkan kembali kepada Tiedeman & vanKerchem (TvK) sebelum akhirnya dinasionalisasi 3 tahun kemudian.
Saat terjadinya aksi pembebasan Irian Barat tahun 1957, seluruh perusahaan yang ada di Indonesia dinasionalisasi termasuk PG Kebon Agung ini yang pengelolaanya dibawah Badan Pimpinan Umum-Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN). PG ini sendiri berada di bawah inspeksi BPU-PPN daerah VII yang berpusat di Surabaya. Periode ini dapat diartikan pengalihan tenaga kerja dari tenaga asing yang pada waktu itu sangat dominan menjadi tenaga kerja pribumi.
Setelah BPU-PPN Gula dilikiudasi pada tahun 1967, tahun 1968 pemerintah Indonesia menegluarkan kebijakan untuk meninjau kembali oerusahaan0perusahaan nasional yang telah dinasionalisasi, dan berdasarkan PP no. 3 tahun 1986 PG Kebon Agung dikembalikan kembali pada Yayasan Dana Tabungan Pegawai Bank Indonesia dan Yayasan Dana Pensiun dan Tunjangan Hari Tua Bank Indonesia. Berdasarkan hal ini, Bank Indonesia Unit I (sekarang Bank Indonesia) yang bertindak sebagi pengurus dua pemilik saham diatas menunjuk PT Biro Usaha Management Tri Gunabina sebagai pengelola PG Kebon Agung pada tanggal 17 Juni 1968. Dengan hal ini terhitung sejak 1 Juli 1968 PT Tri Gunabina bertindak sebagi penuh selaku direksi PG Kebon Agung yang sekaligus membawahi PG Triangkil yang ada di Jawa Tengah.
Pada tahun 1976-1978 PG Kebon Agung mencanangkan Program Rehabilitasi dan Modernisasi (RPM). Dari program ini telah dilakukan antara lain penambahan kapasitas produksi gula, perbaikan dan penggantian mesin-mesin yang sudah dimakan usia sebanyak 70-80%, dan tahun 1977 merupakan Renovasi tahap II yang telah dicanangkan pada RPM ini. Pada tanggal 25 Februari 1992, Bank Indonesia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YKK-BI) dan memutuskan yayasan inilah yang menjadi pemegang saham tunggal PG Kebon Agung.
Pada tahun 1993 pengoperasian PG Kebon Agung telah mencapai 75 tahun, maka dari itulah kemudian diberikan akta Notaris pengganti yang sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku yang mengisyaratkan bahwa pengoperasian PG ini diperpanjang hingga 75 tahun lagi sekaligus mengubah nama menjadi PT Kebon Agung dari sebelumnya PT PG Kebon Agung.
I.                   PERKEMBANGAN USAHA
1.1              Perkembangan Pengelolaan Tanaman Tebu
Undang-undang tentang perkebunan telah ada sejak dimualinya Tanam Paksa antara tahun 1830-1870. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang yang bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi penduduk pribumi. Di Pulau Jawa sendiri Tanam Paksa benar-benar terasa, hal ini mengakibatkan tebu menjadi komoditi utama selain kopi. Perkebunan dan Pengelolaan Gula di malang sendiri dimulai pada abad 19. Undang-undang Agraria tahun 1870 semakin membuat pembukaan lahan untuk perkebunan semakin meluas di malang, apalagi setelah dibukanya jalur kereta api dari Malang menuju Surabaya tahun 1879.
PG Kebon Agung sendiri memulai sktivitasnya tahun 1908 setelah 3 tahun sebelumnya berdiri dengan luas lahan 600 bahu yang kemudian berkemabang menjadi 1000 bahu pada 1913. Lahan-lahan ini diperoleh dengan cara menyewa dari penduduk setempat kemudian mengelola sendiri tebu pabrik. Kondisi lahan di wilayah kerja PG ini pada umumnya subur karena dialiri oleh 2 sungai yakni sungai Brantas dan sungai Metro. Hingga saat ini luas lahan yang dikelola oleh PG ini telah mencapai 12.000 ha yang berada di wilayah Kodya dan Kabupaten Malang terdiri atas 1200 lahan sawah dan sisanya merupakan lahan kering/tegal dengan 150 ha merupakan tanaman tebu sendiri dan sisanya merupakan tanaman tebu rakyat. Jumlah petani kurang lebih sekitar 4.000 petani yang tergabung dalam kelompok tani dan 21 unit koperasi.
1.2              Perubahan Tanaman Tebu Sendiri (TS) menjadi Tanaman Tebu Rakyat (TR)
Dari awal mula pabrik didirikan tanaman tebu yang dikelola merupakan Tanaman Tebu Sendiri (TS) dengan menyewa sawah-sawah petani setempat melalui sitem Glebagan, sedangkan budidaya tanaman tebunya dilakukan dengan sitem renoysa. Luas areal tanaman tebu berkembang sesuai dengan meningktanya kapasitas giling pabrik. Namun kemudian terdapat beberapa perubahan mengikuti peraturan yang ada terutama Sejak dikeluarkannya Inpres No. 9 tahun 1975, terjadilah pergantian dai sistem sewa ke sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), Tanaman Tebu Sendiri diganti menjadi Tebu Rakyat dimana Pabrik menyewa tanah petani namun tanah tersebut dikerjakan sendiri oleh petani dengan pengawasan dan bimbingan dari pabrik gula, hal ini bertujuan untuk semakin mensejahterakan petani.
Tanaman tebu di kabupaten Malang sendiri terus bertumbuh baik yang digunakan dan digiling di pabrik ataupun yang dipriduksi untuk dijadikan gula tumbuk. Sejalan dengan hal ini kemudian bermunculan berbagi koperasi petani TR untuk semakin memudahkan petani dalam pemasran,penjualan dan penyimpanan tebu mereka atau olahan tebu mereka. sejak 1975, dari total luas lahan kebu yang diewa oleh PG ini 30% merupakan Tebu Sendiri dan sisanya sebesar 70% merupakan TR. Namun semenjak adanya TRI, sebanyak 98% atau sejitar 8.000 ha merupakan TRI dan sisanya merupakan TS.
Dengan dikeluarkannya undang-undang No.12 tahun 1992 tentang diijinkannya petani menanam komoditi sesuai dengan keinginan yang dikehendaki, terjadilah lonjakan lahan tebu rakyat hingga saat ini mencapi 12.500 ha namun sebaliknya lahan TS yang disewa pabrik dari semual sekitar 30% dari total lahan kini menyusut menjadi 2% atau sekitar 150-250 ha. Dalam perjalanannya dari tahun ke tahun terjadi penurunan sehingga menyebabkan penurunan produksi tebu secara menyeluruh.
Untuk mengatasi kondisi seperti ini pemerintah telah merubah program TRI menjadi pola Tebu rakyat Kemitraan serta dilaksanakannya program akselerasi dengan mengganti tanaman yang ada dengan varietas unggul baru sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah produksi dan mencukupi kebutuhan gula nasional.
1.3              Perkembangan Mesin dan Peralatan Pabrik
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju setiap harinya, sebuah perusahaan yang membutuhkan keuntungan finansial tentunya harus memikirkan untuk memodernisasi peralatan-peralatan yang ada di pabriknya. Hal ini pula yang terjadi di PG Kebon agung, semenjak awal beroperasi pada tahun 1908 PG ini telah memiliki alat-alat yang bisa dibilang cukup baik untuk ukuran sebuah Pabrik Gula pada masa itu. Di jawa sendiri pada masa itu juga telah ada usaha-usaha pengolahan gula menggunakan tenaga manusia dan peralatan manual yang produknya bisa dibilang menjadi gula tumbuk. PG kebon agung sendiri pada awalnya meskipun proses pemurniannya masih bisa digolongkan sedrhana, namun sudah bisa menghasilkan Gula coklat dan Gula Tetes. Namun sekarng ini dengan semakin berkemabngnya teknologi, produksi yang mereka hasilkan bukan hanya dua jenis gula tersebut namun juga bisa mencakup gula kristal yang biasa dipakai dalam kehidupan kita sehari-hari.
1.4              Uraian Proses
Proses pembuatan gula di PG Kebon Agung ini diawalai di stasiun gilingan. Di stasiun Gilingan ini tebu yang sudah dicacah terlebih dahulu selanjutnay diperah (digiling) untuk mendapatkan nila mentah sebanyak-banyaknya. Di dalam pemerahan ini ditambahkan air, tujuannya agar gula yang masih ada dalam ampas terlalrut sehingga diharapkan ampas mengandung gula serendah-rendahnya. Nira yang sudah diperah kemudian dipompa menuju stasiun pemurnian Nira. Tujuan dari proses ini adalah untuk memisahkan kotoran-kotoran bukan gula yang terkandung dalam nira mentah, sehingga diperoleh hasil berupa nira encer atau nira jernih. Di dalam proses ini didapatkan kotoran yang bernaman bloting yang nantinya bisa digunakan sebagi pupuk.
Di PG Kebon Agung proses yang digunakan adalah proses sulfitasi sehingga bahan kimia yang digunakan adalah larutan kapur tohor dan gas SO2 yang diperoleh dari pembakaran belerang padat.
Nira encer hasil pemurnian masih banyak mengandung air sehingga dibutuhkan proses penguapan di stasiun penguapan untuk mendapatkan nira dengan ketentalan tertentu. Kemudian nira kental yang telah dihasilkan di proses lebih lanjut di stasiun masakan. Dimana dilakukan proses kristalisasi yang dimaksudkan untuk mengambil gula dalam nira kental sebanyak-banyaknya untuk dikristalisasi dalam ukuran tertentu yang dikehendaki. Hasil dari stasiun masakan ini masih belumlah bisa dijual karena masih berupa Masecuite yakni kristal gula yang masih mengandung sirup, harus diproses lebih lanjut di stasiun putaran untuk memisahkan gula dari sirupnya.
Pada proses putaran ini akan diperoleh gula kristal putih sebagai hasil utamanya adan tetes sebagi hasil sampingannya. Gula dari stasiun putaran ini selanjutnya akan diproses di stasiun pembungkusan, dimana setaip 50kg gula dikemas dalam 1 karung plastik ukuran 50 kg.
Sementara di pihak lain untuk menghasilkan energi, stasiun ketel digunakan untuk menghasilkan uap dari proses pemanasan air kondensat sampai mendidih dimana hasilnya nanti akan berupa uap yang digunakan untuk menggerakkan turbin di gilingan dan PLTU. Pada stasiun PLTU dilakukan proses perubahan dari stasiun ketel menjadi energi listrik.
Dalam perjalanan beroperasinya PG Kebon Agung ini, perubahan-perubahan perlatan mengikuti teknologi modern sering kali terjadi dan tak dapat dielakkan lagi demi produktivitas yang lebih tinggi dan efisien. Contohnya saja sampai tahun 1976 mesin gilingan yang digunakan masihlah mengginakan uap sebagi energi utamanya, namun setelah ada RPM pabrik pada tahun 1977 mesin-mesin itu diganti dengan yang baru yang digerakkan oleh turbin sehingga proses pmerahan nira enjadi lebih baik dan efisien. Selain itu sebagai upaya untuk melaksanakan program produksi bersih yang telah dicanangkan, Filter press yang digunakan sejak tahun 1911 mulai tahun 1982 diganti dengan Rotary Vacuum Filter yang memungkinkan kinerja lebih maksimal. Sementara untuk meningkatkan kualitas PG Kebon Agung juga memasang peralatan talo filtrat yang kemudian dilanjutkan dengan pemasangan tolo dura pada tahun 1991, fungsi dari kedua peralatan ini adalah untuk menjernihkan nira yang telah dihasilkan oleh Rotary Vacuum Filter dan juga menjernihkan nira kental.
1.5              Stasiun Penguapan
Pada tahun 1908-1910 stasiun penguapan PG Kebon Agung menggunakan sistem Triple effect yakni sistem 3 bejana evaporator dengan heater masing-masing seluas 325m2. Tahun 1911-1914 berubah menjadi Quadrupple effect yakni sistem 4 bejana evaporator dengan heater masing-masing seluas 600m2. Pada saat dilaksanakannya program RPM tahun 1977 sistem ini berubah lagi menjadi sistem dengan 5 evaporator dengan rincian 3 evaporator dengan luas heater mencapai 3300 m2 dan 2 buah evaporator dengan heater 800m2. Untuk meningkatkan kapasitas giling pada tahun 2000 dipasang lagi pre evaporator dengan heater seluas 1600m2 dan 2000m2.
Sejalan dengan program efisiensi yang dicanangkan oleh pabrik, tahun 1996 dipasanglah alat yang bernama Juice Catcher yang fungsinya untuk menangkap percik nira yang keluar dari setiap proses penjernihan nira sehingga bisa meminimalisir hilangnya gula pada proses penjernihan.
1.6              Stasiun Masakan
Pada awal berdirinya tahun 1908-1912 untuk stasiun masakan dipasang 2 buah pan masakan bertipe coil dengan total volume 280 Hekto Liter(HL) dan 4 buah pendingin dengan total volume 560 HL. Pada tahun 1913-1914 dipasang 3 buah pan masakan jenis coil dengan volume 480 HL dan dipasang lagi 2 buah pendingin sehingga volume total pendingin menjadi 840 HL. Sistem ini bertahan hingga terjadinya RPM tahun 1977 dimana dibangun kembali 6 buah pan masakan dengan tipe kalandria dengan volume masing-masing pan 420 HL dan 1 buah pan masakan dengan jenis coil yang bervolume 350 HL.
Pada RPM ini pula pendingin yang lama diganti dengan pendingin baru dengan rincian 4 buah pendingin untuk masakan A dengan volume total 1680 HL, 3 buah pendingin untuk masakan C dengan volume total 1460 HL dan 4 buah pendingin dengan untuk masakan D dengan volume total 1600 HL.Tahun 1978 dibangun lagi 2 buah pendingin cepat (rapid Crystalizer) dengan kapasitas 65 HL/jam yang dilengkapi dengan sistem pendingin cepat steam cooling pant.
1.7              Stasiun Putaran
Pada awal berdirinya tahun 1908-1910 stasiun putaran menggunakan weston centrifuge yang berjumlah 7 buah. Selanjutnya mulai tahun 1911-1912 ditambah lagi 2 mesin dengan jenis yang sama. Tahun 1913-1914 tercatat stasiun putaran menggunakan 16 buah weston centrifuge dengan dimensi 30” x  18”.
Pada saat pelaksanaan RPM tahun 1977 stasiun putaran dimodernisasi dengan pemasangan putaran High Grade dan Low Grade dengan merk BMA semi automatic dan full automatic. Namun tidak berhenti disitu saja, sejak tahun 2004 dengan tujuan untuk mengembangkan kapasitas pabrik, maka dipasang lagi 4 buah putaran High Grade type Western State (WS) full automatic dan 3 buah putaran Low Grade type WS.Untuk menghasilkan gula yang memenuhi kualitas standar nasional yang ditetapkan oleh Badan Sertifikasi Nasional (BSN) tahun 2001, maka PG Kebon Agung yang awal berdirinya hanya menggunakan 2 buah pengering gula diganti dengan 1 buah pengering gula yang dilengkapi dengan sistem pendingin.
1.8              Stasiun Ketel Uap (Boiler)
Pada awal beroperasinya antara tahun 1908-1912, ketel yang digunakan sebanyak 3 unit dan bertekanan rendag kurang lebih 10kg/cm3, dengan luas pemanas 760m2. Perkembangan selanjutnya sa,pai dengan tahun 1936 dilakukan penambahan 1 unit ketel uap sehngga luas pemanas keseluruhan mencapai 1.080m2. Sejalan dengan bertambahnya kpasitas giling pabrik, pada tahun 1962 dipasang lagi 1 unit ketel upa borsig dengan kapasitas 14 ton/jam bertekanan menengah antara 14-18 kg/cm2. Selanjutnya pada tahun 1967 dilakukan penambahan lagi 2 ketel uap borsig dengan kapasitas 14 ton/jam
Pada saat RPM 1977 dipasang 2 unit ketel uap Stork dengan kapasitas masing-masing 28 ton/jam dan ketel uap lama yang bertahan sejak 1936 pun dibongkar. Sementara itu pada tahun 1999, dipasang lagi sebuah lumi-ketel Yoshimine dengan kapasitas 80 ton/jam dan Sebagai langkah persiapan PG Kebon Agung dalam menghadapi persaingan produksi gula dan demi peningkatan produksi maka pada tahun 2005 dipasang lagi sebuah luni-ketel Yoshimine dengan kapasitas 100 ton/jam.

1.9              Stasiun Listrik
Sebenarnya tidak banyak data yang bisa diperoleh mengenai stasiun listrik PG ini pada awal berdirinya dulu. Namun yang diketahui adalah pada tahun 1967 dan 1970 dibangun diesel generator dengan kapasitas 275 KW dan 340 KW. Setelah itu dibangun turbin generator siemens 1dan siemens 2 pada 1973 dengan kapasitas masing-masing 1200 KW dan generator siemens 3 dibangun pada 1978 yang berkapasitas 1300 KW.
II.                PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN
3.1.            Serikat Pekerja
Pembentukan sarikat buruh di Indonesia yang pada masa itu masih bernama Hindia Belanda sudah dimulai sejak abada 19 yang banyak dipelopori oleh kaum eropa yang miris melihat kondisi buruh-buruh di Indonesia yang tidak mampu melawan penguasa karena tidak terorganisisr secara baik. Sejalan dengan itu pada tahun 1919 sebuah sarikat buruh yang bernama Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) terbentuk di Suarabaya untuk mewadahi para buruh yang bekerja di Surabaya dan sekitarnya.
Setalah masa kemerdekaan organisasi macam ini semakin banyak bermunculan, salah satunya adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada tanggal 29 November 1964 yang di dalamnya terkumpul 34 organisasi buruh seluruh Indonesia. Kemudian pada masa Orde baru didirikan Serikat Buruh tunggal yakni Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang berdiri tanggal 20 Februari 1973. Kemudian setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya mengenai pendaftaran serikat buruh, yang juga menegaskan bahwa organisasi buruh dapat mendaftar di dinas tenaga kerja sehingga membuat orang tidak dapat secara mudah membuat serikat buruh baru seperti masa-masa sebelumnya. Pada tahun 1985, FBSI dirubah namanya menjadi Serikat Pekerja Seluruh Inonesia (SPSI), kata ‘buruh’ diperhalus menjadi kata karyawan atau pekerja.
3.2.            Perkembangan serikat Pekerja di PG Kebon Agung
Organisasi buruh di PG kebon Agung dimulai sejak 1948-1965, diamana buruh banyak mempunyai pilihan karena dibumbui unsur-unsur politis antara lain seperti SARBUMUSI (Serikat Buruh Muslim Indonesia), KBG (Kesatuan Buruh Gula)/Buruh Marhaenis, IBP )Ikatan Buruh Pancasila), GASBIINDO (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia), PAGI (Persatuan Ahli Gula Indonesia) dll.
Kemudian tahun 1965-1973 organisasi buruh bertambah banyak jumlahnya di PG Kebon Agung sperti adanya PERKAPEN (Persatuan Karyawan Perkebunan), IBP (Ikatan Buruh Brawijaya), Kubu Pancasila, KESPEKSI (Kesatuan Pekerja Kristen Indonesia). Namun pada tahun 1973 semua organisasi di PG Kbon Agung diubah dan dilebur menjadi FBSI, pada tahun 1983 FBSI dirubah namanya menjadi SPSI dan bertahan sampai sekarang.
3.3.            Perjanjian Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan
Pelaksanaan hubungan ketenagakerjaan diarahkan pada terciptanya kerjasama yang serasi, selaras dan seimbang antara pekerja dengan Pengusaha. Dalam seluruh proses produksi serta usaha peningkatan kelancaran, efisiensi kelangsungan hidup perusahaan, Pekerja mencurahkan pikiran dan tenaga sebaik-baiknya untuk kepentingan perusahaan dan Pengusaha akan memberikan imbalan yang wajar dan layak secara kemanusiaan sesuai dengan jasa yang dihasilkan pekerja. Disamping itu, pengusaha juga memprhatikan peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarga berdasarkan kemampuan dan sesuai dengan kemajuan yang dicpai oleh perusahaan.
Demi terciptanya iklim keharmonisan dalam hubungan antara pekerja dan pengusaha, maka pekerja yang diwakili oleh SPSI Unit kerja PG Kebon Agung dan Dewan Pimpinan Pusat SPSI dengan Direksi PT Kebon Agung membuat Kesepakatan Kerja Bersama yang isinya mengatur tentang segala hak dan kewajiban bagi pekerja maupun pengusaha serta jaminan sosial bagi para pekerja. KKB ini setiap 2 tahun sekali diadakan perbaikan sesuai dengan hasil perundingan anatar ketiga pihak tersebut. Pada tahun 2003 nama KKB diubah Menjadi Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Pekerja di PG Kebon Agung ini dibagi menjadi 2 yakni Karyawan tetap dan karywan tidak tetap. Karyawan tidak tetap sendiri digolongkan menjadi berikut :
a)                   Pekerja Musiman (borongan) Tanaman
b)                  Pekerja Musiman (borongan) Tebangan
c)                   Pekerja Musiman lain-lain
d)                  Pekerja Kampanye/Giling
e)                   Pekerja Barangan lain-lain
III.             PERANAN PABRIK GULA KEBON AGUNG DALAM MELESTARIKAN LINGKUNGAN HIDUP
Perkembangan Industri pada gilirannya akan menghasilkan buangan yang berupa zat padat, cair maupun gas yang berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Menyadari akan hal ini PG Kebon Agung sebagai sebuah industri yang cukup besar di daerahnya merasa harus berpartisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan. Upaya ini diperoleh melalui studi AMDAL. Dalam hal ini PG kebon agung bekerja sama dengan Universitas Brawijaya malang untuk mengelola limbah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Beberapa hal yang menjadi limbah pun coba ditangani dengan baik oleh kerjasama ini antara lain dalam bidang :
4.1.            Pengolahan Limbah Cair
Prioritas pertama pengelolaan limbah cair PG Kebon Agung adalah dengan membangun instalasi pengolahan limbah bekerja sama dengan konsultan “CEALA ENGINEERING” surabaya yang lokasinya berada dalam lingkungan pabrik. PG ini mengalokasikan dana sebesar 400 juta rupiah dan lahan seluas 15.500 m2 untuk pembangunan tersebut dengan desain kapasitas 60 m3 / detik dan menggunakan sistem penolahan aerobic maupun unaerobic. Proyek ini diselesaikan pada akhir tahun 1988 dan mulai diaplikasikan pada musim giling 1989, selama proses pembangunan berlangsung secara simultan dipersiapkan tenaga-tenaga yang dikemudian hari akan menangani proses pengolahan limbah cair.
Sesuai peraturan lingkunagn hidup yang berlaku, secara rutin tiap bulan dilakukan pengambilan contoh air untuk kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas air limbah buangan. Dalam perjalanan waktu pengolahan limbah cair PG ini selalu dilakukan penyempurnaan termasuk memperbaiki kinerja air pendingin dan filtarsi limbah.
4.2.            Pengolahan Limbah Padat (Abu Ketel dan Blotong)
Abu ketel adalah sisa pembakaran ampas di stasiun ketel, merupakan limbah inert yang secara alamiah tidak bisa lagi dihancurkan. Sementara Bloting adalah limbah padat hasil pemurnian nira. Sejak tahun 1982 setelah adanya Vacuum Filter, blotong ini dapat dimanfaatkan sebagai tanah uruk dan juga sebagi pupuk organik bio kompos yang tempat pengolahannya terletak di desa Sempalwadak dengan kapasitas produksi mencapai 40 ton/hari. Sementara abu ketel dimanfaatkan sebagai tanah uruk dan juga sebagai bahan baku pembuatan bio kompos.
4.3.            Pengolahan Limbah Gas
Sebagai sisa hasil pembakaran bahan bakar melalui cerobong asap keluarlah gas hasil sisa pembakaran tersebut. Polusi udara terjadi apabila didalam dapur ketel terjadi pembakaran yang tidak sempurna karena kurang seimbangnya antara bahan bakar dengan suplai oksigen.
Untuk emnghindarkan hal ini maka zebelum gas buanagn dibuang melalui cerobong asap dipasanglah alat penangkap debu yang biasa disebut Scrubber. Sementara proses sulfitasi sebagai sistem yang masih digunakan di sebagian besar pabrik gula di indonesia menggunakan belerang sebagi bahan utamanya. Dari hasil pembakaran belerang ini keluarlah gas SO2 namun jika dalam kondisi baik gas ini tidak keluar, tapi tentu saja hal ini tidak bisa diharapkan.
Untuk menghindari hal ini dilakukan dengan cara melakukan pengendalian proses melalui kelengkapan peralatan deteksi berupa automatic regulated pH meter dan mengubah sistem proses sulfitasi serta pengendalian ketat pada proses pembakaran agar tidak menghasilkan gas SO2 maupun uap belerang.
IV.             PERANAN PABRIK GULA KEBON AGUNG TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR
Pada awal berdirinya, lokasi pabrik gula ini masihlah jauh dari pemukiman penduduk, tapi lambat laun menjadi dekat akibat bertambahnya jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan kondisi sosial ekonominya berbeda, dalam hal ini pabrik diwajibkan membangun hubungan baik dengan penduduk agar terjadi keselarasan tujuan.
Menanggapi hal ini PG kebon agung melakukan berbagai kegiatan untuk kesejahteraan penduduk sekitar, seperti membangun sarana pendidikan dan sarana kesehatan serta pemberian beasiswa bagi putra-putri karyawan dan anak penduduk yang berprestasi. Selain itu pemberian bantuan untuk instansi pendidikan dan pondok pesantern di sekitar, berperan aktif dalam pembangunan saran ibadah serta sarana kesehatan  sperti puskesma, pembangunan sarana jalan, jembatan dan irigasi, penyaluran sumber air bersih dari mata air, dan juga pembangunan kamar mandi umum. Acara sosial lain juga sering diadakan secara rutin seperti donor darah dan secara berkala melakukan pembagian sembaki bagi warga yang kurang mampu.
Sementara peranan pabrik bagi perekonomian masyarakat sangatlah terasa, seperti penciptaan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyrakat sekitar. Dalam hal ini selain sebagai petani tebu, masyarakat sekitar juga banyak direkrut sebagai pegawai pabrik gula ini. Selain itu pabrik ini secara tidak langsung juga menciptakan pekerjaan di bidang lain, seperti jasa angkutan transportasi dll.

V.                KESIMPULAN
Pabrik Gula Kebon Agung yang berlokasi di Desa Kebon Agung, Pakisaji Malang ini berdiri sekitar tahun 1905 didirikan oleh Tan Tjwan Bie dan mulai beroperasi sekitar tahun 1908. Pada masa Belanda PG ini dikelola oleh Naamloze Vennotschap (NV) & Lanbow Maatschapij Tiedeman & van kerchem (TvK) namun kemudian setalah masa proklamasi Pabrik gula ini diambil alih oleh Bank Indonesia dan berada dibawah naungan BI hingga sekarang. Pabrik Gula ini merupakan salah satu yang tertua di daerah Malang, dan sedikit banyak telah mewarnai perjalanan sejarah pergulaan di Indonesia.
Pada masa sekarang, pabrik yang dulunya jauh dari pemukiman penduduk semakin lama semakin mendekati pemukiman penduduk dan hal ini membuat pabrik harus melakukan beberapa hal sebagai timbal balik kepada masyarakat seperti pendirian sarana dan prasarana pendidikan serta pemberian bantuan kepada masyarakat. Selain itu pabrik ini banyak menciptakan tenaga kerja bagi masyarakat sekitar karena banyak dari pekerja pabrik ini yang merupakan penduduk sekitar.


DAFTAR RUJUKAN

http://Malangpedia.blogspott.com_Pabrik_Gula_Malang_Tempo_dulu
http://Bloganyur.blogspot.com_Malang_jaman_Belanda
Direksi PG Kebon Agung.1977.Rehabilitasi Perluasan dan Modernisasi (RPM). Guna Tri Bina. Malang.

Kamis, 20 Desember 2012

SUNGAI BANGER MENJADI AWAL TERBENTUKNYA DAERAH PROBOLINGGO

by. Wilson Arta Kharisma


Abstrak
Banger merupakan sebuah nama wilayah yang sebelum nama Probolinggo ada. Nama banger tersebut merupakan nama salah satu sungai yang ada di Probolinggo. Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo yang memiliki peran penting dalam bidang perdagangan. kapal-kapal pedagang China bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo. Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis. sejak tahun 1770 nama wilayah Banger berubah nama dan diganti dengan probolinggo. Penggantian nama tersebut juga membuat aura dari Kali Banger semakin meredup di mata masyarakat sekitar bantaran. Kondisi itu semakin diperparah dengan tidak berfungsinya Kali Banger sebagai jalur perahu-perahu Niaga lagi.
Kata kunci: Banger, Probolinggo, Sejarah.

Kabupaten Probolinggo adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini dikelilingi oleh Gunung Semeru, Gunung Argopuro, dan Pegunungan Tengger. Kabupaten Probolinggo mempunyai semboyan "Prasadja Ngesti Wibawa". Makna semboyan tersebut adalah “Dengan rasa tulus ikhlas (bersahaja, jujur, bares) menuju kemuliaan”.
Ketika seluruh Wilayah Nusantara dapat dipersatukan di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka), Patih Gajah Mada telah dapat mewujudkan ikrarnya dalam Sumpah Palapa, menyambut keberhasilan ini, Raja Hayam Wuruk berkenan untuk berkeliling negaranya. Perjalanan muhibah ini terlaksana pada tahun 1359 M (1281 Saka).
Menyertai perjalanan bersejarah ini, Empu Prapanca seorang pujangga ahli sastra melukiskan dengan kata-kata, Sang Baginda Prabu Hayam Wuruk merasa suka cita dan kagum, menyaksikan panorama alam yang sangat mempesona di kawasan yang disinggahi ini. Masyarakatnya ramah,tempat peribadatannya anggun dan tenang, memberikan ketenteraman dan kedamaian serta mengesankan. Penyambutannya meriah aneka suguhan disajikan, membuat Baginda bersantap dengan lahap. Taman dan darma pasogatan yang elok permai menyebabkan Sang Prabu terlena dalam kesenangan dan menjadi kerasan.
Ketika rombongan tamu agung ini hendak melanjutkan perjalanan, Sang Prabu diliputi rasa sedih karena enggan untuk berpisah. Saat perpisahan diliputi rasa duka cita, bercampur bangga. Karena Sang Prabu Maha Raja junjungannya berkenan mengunjungi dan singgah berlama-lama di tempat ini. Sejak itu warga di sini menandai tempat ini dengan sebutan Prabu Linggih. Artinya tempat persinggahan Sang Prabu sebagai tamu Agung. Sebutan Prabu Linggih selanjutnya mengalami proses perubahan ucap hingga kemudian berubah menjadi Probo Linggo. Maka sebutan itu kini menjadi Probolinggo.

PERKEMBANGAN WILAYAH PROBOLINGGO
Kerajaan Singasari (1222-1292)

Berdasarkan Prasasti Mula-Malurung, wilayah Probolinggo menjadi bagian dari Kerajaan Singosari dibawah Raja Saminingrat (Wisnuwardana) tahun 1248-1254. Wilayah itu menjadi bagian dari Lumajang yang diperintah oleh Nararya Kirana, raja bawahan Singasari hingga masa raja Kertanegara. (1254-1293). Pada periode itu, nama-nama daerah baik pada tingkatan dusun, wanua, kuwu, hingga watek masih belum muncul di wilayah Probolinggo. Status wilayah Probolinggo masih dibawah kendali raja bawahan Singosari di Lamajang.
2. Masa Majapahit
Pada masa Majapahit posisi Probolinggo terletak di wilayah Wirabhumi (Balambangan), yang menurut Negara Kertagama di bawah Natha (Gubernur) Nagarawardhani, dan dalam Prasasti Suradakan : Rajasawardhana Indudewi Dyah Pureswari.
Di wilayah Wirabhumi atau Blambangan ini kita coba telusuri munculnya nama-nama wilayah atau komunitas berdasarkan informasi Negara Krtagama. Negara Krtagama, Pupuh 3: mengkisahkan tentang perjalanan Hayam Wuruk ke wilayah Timur pada tahun 1359 M. Yang menarik dari Kakawin itu adalah adanya upaya inventarisasi nama-nama wilayah oleh Prapanca. Dari Negara Krtagama diketahui bahwa ketika Hayam Wuruk sampai di wilayah Probolinggo, Prapanca mencatat nama-nama desa dan kuwu. Nama Banger, Sagara, Pajarakan, Gendhing, Buluh, Gedhe, Arya, Bermi (Baremi), Keboncandi, Sajabung, dan Pabayeman. Ketika Raja Hayam Wuruk sampai di Desa Jabungsisir, sang raja menghadiahkan sebidang tanah perdikan, dan sebuah candi Budha kepada Tumenggung Nala yang berkuasa di Jabungsisir. Dalam Pararaton, juga disebutkan jika di daerah Sajabung (kini Jabungsisir) bangunan suci itu (candi) adalah Abiseka Bajranaparamitapura. Ketika rombongan raja meninjau sebuah komunitas keagamaan mandhala di daerah Tongas (Probolinggo), di sana melakukan upacara keagamaan di kuil setempat, serta menerima upeti dari sebelas komunitas Budhis, dan tiga desa pegunungan Lumbang, Pancur, dan Trenggilis. “Pada zaman pemerintahan Prabu Radjasanagara (Sri Nata Hayam Wuruk) Raja Majapahit yang ke IV (1350-1389 M) Probolinggo dikenal dengan nama “Banger” nama sungai yang mengalir di tengah banger ini. Banger merupakan pedukuhan kecil dibawah pemerintahan Akuwu di Sukodono. Nama Banger dikenal di buku Negarakertagama yang ditulis oleh Pujangga kerajaan Majapahit yang dikenal yaitu Prapanca” (Basri, 2004:9).
Dalam upaya mendekatkan diri dengan rakyatnya, maka Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Patih Amangku Bumi Gadjah Mada melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah antara lain Lumajang dan Bondowoso. Perjalanan tersebut dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan masyarakat di pedesaan dan sekaligus melihat sejauhmana perintahnya dapat dilaksanakan oleh para pembantunya. Dalam perjalanan inspeksi tersebut Prabu Hayam Wuruk singgah di desa Banger, desa Baremi, dan desa Borang. Desa tersebut sekarang ini menjadi bagian wilayah administrasi Kecamatan Mayangan Kota Probolinggo (Kelurahan Sukabumi, Mangunharjo, Wiroborang).
Singgahnya Prabu Hayam Wuruk di desa Baremi, Banger dan Borang, disambut masyarakat sekitar dengan penuh sukacita. Pada hari Kamis Pahing (Respati Jenar) tanggal 4 september 1359 Masehi, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan kepada rakyat Banger agar memperluas Banger dengan membuka hutan yang ada di sekitarnya yang selanjutnya akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Perintah itulah yang akhirnya menjadi landasan sejarah hari lahirnya Kota Probolinggo.
Sejalan dengan perkembangan politik kenegaraan/kekuasaan di zaman Kerajaan Majapahit, pemerintahan di Banger juga mengalami perubahan-perubahan/perkembangan seirama dengan perkembangan zaman. Semula merupakan pedukuhan kecil di muara kali Banger, kemudian berkembang manjadi Pakuwon yang dipimpin oleh seorang Akuwu, di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Pada saat Bre Wirabumi (Minakjinggo), Raja Blambangan berkuasa, Banger yang merupakan perbatasan antara Majapahit dan Blambangan, dikuasai pula oleh Bre Wirabumi. Bahkan Banger menjadi kancah perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Prabu Wikramawardhana (Majapahit) yang dikenal dengan “Perang Paregreg”. Adapun Nama Banger ini diberikan karena airnya berbau amis/Banger karena darah Menak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.

3. Masa Kerajaan Supit Urang (Sengguruh) Abad XVI-XVII)
Kerajaan Supit Urang sering disebut Sengguruh. Sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit pada 1527, di Sengguruh untuk beberapa lama masih berlaku kekuasaan keturunan patih Majapahit, yang (menurut Tome Pires sebagai Gusti Pate) pada hari-hari terakhir kerajaan itu masih berkuasa. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur, menurut penulis Portugis itu pada sekitar tahun 1515 diperintah oleh anak laki-laki Gusti Pate dari Sengguruh. Sengguruh tunduk pada kekuasaan maharaja Hindu. Pusat pemerintahannya terletak di bagian hulu sungai Brantas, di Malang Selatan. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit terakhir yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara Serat Kandha, babad Sangkala, dan cerita tutur Jawa. Menurut Rouffaer, kerajaan itu merupakan kelanjutan dari kerajaan Singasari. Wilayahnya meliputi: Pasuruan, Malang dan Probolinggo.
Beberapa ahli ada yang menduga bahwa pusat kerajaan ini di daerah pegunungan Tengger. Sebuah kenyataan adalah bahwa hari-hari masa lalu di Probolinggo dalam keterangan sering muncul istilah kerajaan Supit Urang, di mana Probolinggo termasuk wilayahnya pada jaman dahulu. Kebanyakan orang yakin bahwa pusat kerajaan ini terletak di Tengger.
Supit Urang pada tahun 1639 dihancurkan dalam penyerangan Sultan Agung ke Blambangan dan penduduknya diangkut ke Mataram sebagian sebagai tawanan. Sebelumnya pada tahun 1587 Pasuruan ditaklukan oleh Senopati dari Mataram. Di sini sebuah kerajaan didirikan di bawah kekuasaan Mataram, yang menggunakan sebagai pintu gerbang bagi para Sultan Islam dalam penyerangan dan penaklukan mereka atas Blambangan. Berulang kali pasukan Mataram dalam gerakan militernya melewati Probolinggo. Ini dimulai pada tahun 1597 ketika perang meledak antara raja-raja Pasuruan dan Blambangan. Pada tahun 1599 Panarukan direbut oleh Pasuruan dan dihancurkan, pada kesempatan ini di sana sebuah rumah paderi Portugis Capucijner dihacurkan.
4. Masa Kerajaan Blambangan- Hindia Belanda (XVI-XX)
Wilayah Blambangan raya semula hanya dikenal pusat pemerintahannya saja yaitu di Lamajang pada zaman Kameswara. Luasnya meliputi garis pegunungan Tengger ke Timur batas Selat Bali. Kemudian Blambangan Raya ini lebih dikenal dengan nama Wirabhumi pada zaman Majapahit, karena pada masa Raja Hayam Wuruk, wilayah itu dibawah raja bawahan Bre Wirabhumi. Sejak Majapahit diperintah oleh Dyah Ranawijaya (1486-1527), nama Wirabhumi sudah tenggelam, sebagai gantinya muncul nama Blambangan dengan luas wilayah sebelah barat berbatasan garis Gunung Semeru-Tengger ke Selat Bali. Blambangan saat itu diperintah oleh Dinasti Mas Sembar yang masih di bawah kekuasaan Majapahit dengan ibukota Panarukan (1600 M).
Pada masa kejayaan Pangeran Tawangalun (Dinasti Mas Sembar) luas Blambangan mencakup batas barat Blitar-Malang ke Utara hingga Banger ke Timur Selat Bali. Namun sejak akhir pemerintahan Tawangalun, sekitar tahun 1690 M. Luas wilayah Blambangan telah menciut. Beberapa wilayahnya melepaskan diri, termasuk di dalamnya Banger. Banger telah dikuasai oleh Dinasti Jayalelana dari Buleleng sampai tahun 1767, yang kemudian menjadi Probolinggo di bawah Pemerintahan VOC.
Menurut Surat GG. Reineir de Klerk kepada Raja Belanda tertanggal Batavia/Jayakarta, 31 Desember 1781, Banger (Probolinggo) di bawah pemerintahan Tumenggung Jayanegara yang merangkap pula sebagai Bupati Lumajang. Bupati ini menggantikan Bupati Jayalelana Brayung pada tahun 1767.
Pada tahun 1850, wilayah Blambangan wilayahnya dibagi tiga bagian. Bagian Barat adalah Kabupaten Probolinggo, bagian Tengah Kabupaten Besuki, dan bagian Timur Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Probolinggo terdiri dari tiga bagian, yaitu Probolinggo, Lamajang, dan Kraksan. Bagian Probolinggo terdiri dari 5 distrik yaitu : Kota Probolinggo, Sumber Kareng, Tongas, Tengger, dan Dringu. Bagian Lamajang terdiri 3 distrik : Kota Lamajang, Kandangan, dan Ranu Lamongan. Bagian Kraksan terdiri dari 5 distrik : Gendhing, Pajarakan, Kota Kraksan, Jabung dan Paiton. Pada tahun 1905, pada masa Hindia Belanda, wilayah Blambangan telah dipecah menjadi 6 Kabupaten yaitu : Banyuwangi, Panarukan, Bondowoso, Jember, Probolinggo, dan Lumajang.

5. Masa Kerajaan Surapati Abad XVII-XVIII
Surapati, keturunan Bali, putra budak, bekas perwira dalam militer VOC, pada tahun 1686 mendirikan kerajaannya di Pasuruan. Wilayah ini membentang atas daerah Blambangan seperti Panarukan, Lumajang dan Malang. Jadi kerajaan ini juga mencakup Probolinggo. Kemudian (1717) Pasuruan kembali melepaskan diri, namun Probolinggo, Panarukan, Lumajang dan Malang tetap berada di tangannya.
Surapati dan para putra dan cucunya, yang menggantikannya tetap menjadi orang Bali, memeluk Hindu, bersumpah untuk selalu menentang Kompeni dengan segala cara. Dengan Blambangan mereka berhubungan baik; saling mengikat perkawinan dan persahabatan. Raja-raja Blambangan bersama dengan Surapati menjadi ancaman bagi Kompeni. Orang-orang Blambangan hanya ingin melepaskan diri dari pengaruh Bali.
6. Masa Kerajaan Mataram Abad XVI-XVIII
Pada Abad XVI-XVII, Kabupaten Probolinggo dikuasai Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung melancarkan ekspansi terhadap wilayah Blambangan (1635). Walaupun Blambangan kemudian melancarkan aksi-aksi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram bantuan dari Bali. Aksi-aksi tersebut baru dapat dipadamkan pada tahun 1640. Pada masa Kerajaan Mataram struktur pemerintahan pada dasarnya tidak berbeda dengan masa Majapahit. Raja sebagai penguasa tertinggi berada di pusat kerajaan, dibawahnya terdapat bupati wedana yang merupakan pengawas dan koordinator para bupati, bupati/adipati pengusa kabupaten, demang pemimpin kademangan, petinggi sebagai kepala desa dan pedukuhan yang dipimpin kepala dukuh. Wilayah Mataram dibagi dalam susunan: kraton, kuthagara (ibukota), negaragung, mancanegara (dan pasisiran). Mancanegara dan pesisiran dibedakan wetan dan kilen, dengan demikian terdapat mancangara wetan, mancanegara kilen, pesisiran wetan, pesisiran kilen. Posisi Probolinggo terletak di pesisiran wetan berdasarkan struktur yang ada.
Pada masa Pemerintahan VOC, setelah kompeni dapat meredakan Mataram, dalam perjanjian yang dipaksakan kepada Sunan Pakubuwono II di Mataram, seluruh daerah di sebelah Timur Pasuruan (termasuk Banger) diserahkan kepada VOC pada tahun 1743. Untuk memimpin pemerintahan di Banger, pada tahun 1746 VOC mengengkat Kyai Djojolelono sebagai Bupati Pertama di Banger, dengan gelar Tumenggung. Kabupatennya terletak di Desa Kebonsari Kulon. Kyai Djojolelono adalah putera Kyai Boen Djolodrijo (Kiem Boen), Patih Pasuruan. Patihnya Bupati Pasuruan Tumenggung Wironagoro (Untung Suropati). Kompeni (VOC) terkenal dengan politik adu dombanya. Kyai Djojolelono dipengaruhi , diadu untuk menangkap/membunuh Panembahan Semeru, Patih Tengger, keturunan Untung Suropati yang turut memusuhi kompeni. Panembahan Semeru akhirnya terbunuh oleh Kyai Djojolelono. Setelah menyadari akan kekhilafannya, terpengaruh oleh politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono menyesali tindakannya. Kyai Djojolelono mewarisi darah ayahnya dalam menentang/melawan kompeni. Sebagai tanda sikap permusuhannya tersebut, Kyai Djojolelono kemudian menyingkir, meninggalkan istana dan jabatannya sebagai Bupati Banger pada tahun 1768, terus mengembara/lelono.
Sebagai pengganti Kyai Djojolelono, kompeni mengangkat Raden Tumenggung Djojonegoro, putra Raden Tumenggung Tjondronegoro, Bupati Surabaya ke 10 sebagai Bupati Banger kedua. Rumah kabupatennya dipindahkan ke Benteng Lama. Kompeni tetap kompeni, bukan kompeni kalau tidak adu domba. Karena politik adu domba kompeni, Kyai Djojolelono yang tetap memusuhi kompeni ditangkap oleh Tumenggung Djojonegoro. Setelah wafat, Kyai Djojolelono dimakamkan di pasarean “Sentono”, yang oleh masyarakat dianggap sebagai makam keramat.
Di bawah pimpinan Tumenggung Djojonegoro, daerah Banger tampak makin makmur, penduduk tambah banyak. Beliau juga mendirikan Masjid Jami’ (± Tahun 1770). Karena sangat disenangi masyarakat, beliau mendapat sebutan “Kanjeng Djimat”. Pada tahun 1770 nama Banger oleh Tumenggung Djojonegoro (Kanjeng Djimat) diubah menjadi “Probolinggo” (Probo : sinar, linggo : tugu, badan, tanda peringatan, tongkat). Probolinggo : sinar yang berbentuk tugu, gada, tongkat (mungkin yang dimaksud adalah meteor/bintang jatuh). Setelah wafat Kanjeng Djimat dimakamkan di pasarean belakang Masjid Jami.
  
Masa Emas Kali Banger
Kali Banger merupakan sungai utama di Probolinggo. Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900 M. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo. Di sungai ini, kapal-kapal pedagang China bahkan dari pulau Madura bisa masuk hingga ke tengah Kota Probolinggo. Ini menunjukkan Kali Banger bisa menjadi jalur strategis, Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.
Nama “Banger” sebagai nama wilayah Kabupaten Probolinggo dipakai sebagai kebanggaan nama daerah, sejak jaman Majapahit tahun 1365 hingga 1770 masa pemerintahan Bupati Jayanegara. Sehingga setidak-tidaknya selama ± 405 tahun, nama “Banger” selalu terpatri dan mengisi dokumen-dokumen perjalanan sejarah Kabupaten Probolinggo masa lalu, hingga melegenda sampai sekarang. Selama masa Kerajaan Majapahit, hingga jaman penjajahan kumpeni VOC, sebelum Masa Bupati Jayanegara, semua catatan sejarah tentunya mencatatnya sebagai nama “Banger”. Sehingga dapat disimpulkan semasa pemerintahan Wangsa Djajalelana selama kurun waktu empat, s/d lima keturunan (1679 – 1770), nama “Banger” sebagai kebanggaan daerah yang mempunyai sungai kecil, dengan letaknya yang sangat strategis mengalir di tengah kota sebagai sentral perniagaan perekonomian ketika itu menjadi daerah yang cukup diperhitungkan.
Terbukti dalam catatan sejarah dari laporan-laporan VOC penguasa daerah timur selama itu selalu menyebutnya laporan dari “Bupati Banger“. Pada jaman Bupati Djajalelana I yang terprediksi memerintah tahun 1679 s/d 1697, nama “Banger “ diabadikan untuk nama putera pertamanya yaitu “Mas Bagus Banger”. Selain itu pada saat itu pula sering terdengar nama “Kanjeng Banger”, yang konon berselisih dengan Panembahan Meru dari Tengger. masa pemerintahan bupati Jayanegara keturunan dari kasepuhan Surabaya, nama “Banger” dirubah menjadi “Probolinggo”, asal kata dari “Probo” artinya “Sinar”, sedangkan “Linggo” artinya “Badan” atau “Tugu” sebagai tanda peringatan. Dalam pada itu masih sejaman dengan perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, kita ketemukan adanya nama desa Wirolinggo, (dalam peta) di selatan desa Pangger (Randupangger), dan Maniklinggo nama Blambangan lama. Mungkinkah perubahan nama Banger menjadi Probolinggo, terilhami oleh nama-nama itu, masih perlu penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan tgl. 12 Nopember 2005, situs sungai/kali “Banger” saat ini panjangnya ± 6,4 km. Hulu sungai terdapat di DAM Air Desa Pakistaji, sedangkan muara sungai terdapat di Desa Mangunharja, dukuh Tajungan sebelah timur DOK pelabuhan menuju ke laut lepas. Situs Sungai Banger tidak berfungsi untuk mengairi sawah, karena tidak ada cakupan baku sawah, sehingga berfungsi sebagai Drainase (saluran pematusan / pembuagan air non irigasi). Bila diurutkan dari arah selatan Sungai Banger / Kali Banger bersumber dari dua tempat, sebelah barat dari sumber air Andi, sedangkan di sebelah timur dari sumber air bedungan Kedunggaleng, melewati bendugan Kedungmiri, bendungan Sukun, bendungan Randu, bendungan Gladakserang. Di kelurahan Jrebeng, dan Kanigaran sungai pecah menjadi dua (2), di sebelah barat namanya tetap sungai Banger, sedangkan di sebelah timur bernama sungai Pancor.

Probolinggo Menjadi Tanah Partikelir
Pada masa pemerintahan/kekuasaan Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels, yang terkenal dengan pemerintahan tangan besinya, mengada-kan perubahan-perubahan dalam pemerintahan. “Sejak masa Kerajaan Mataram hingga kini merupakan kawasan subur dan kaya hasil bumi. Kawasan ini menjadi aset bernilai tinggi bagi para penguasa pulau Jawa dan digunakan sebagai modal untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, Probolinggo adalah salah satu kawasan yang dijual sebagai tanah partikelir demi melancarkan pembuatan jalan raya pos (De Grote Postweg) Anyer – Panarukan” (Susanto, 2008:75).
 Gubernur Jenderal Meester Herman William Daendels juga banyak menjual tanah negara kepada bangsa asing. “Transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko, dengan harga satu juta dolar. Ini, dan beberapa transaksi lain, murni usaha spekulatif  di pihak pembeli. Untunglah Daendels memerintah cukup lama sehingga sehingga bisa sepenuhnya menjalankan rencana-rencananya, yang akan berakibat separuh penduduk Jawa terpuruk menjadi hamba sahaya, taillable et corveable a merci (yang bisa diapakan saja oleh tuannya)” (Vlekke, 1958:283). Pusat Pemerintahan (Kabupaten) dipindahkan di sebelah Selatan Alun-alun, seperti keadaan sekarang ini.

Gemeente (Kota) Probolinggo
Pada masa Pemerintahan Raden Adipati Ario Nitinegoro, Bupati Probolinggo ke 17, Pemerintah Hindia Belanda membentuk “Gemeente Probolinggo” (Kota Probolinggo) pada tanggal 1 Juli 1918. Tanggal 1 Juli 1918 kemudian dijadikan sebagai hari jadinya Pemerintah Kota Probolinggo. Bersamaan dengan HUT Bhayangkara, tanggal 1 Juli oleh Pemerintah Kota madya Probolinggo telah beberapa kali diperingati sebagai hari jadi / HUT Pemerintah Kota Probolinggo. Tahun 1926 Gemeente diubah menjadi Stads Gemeente berdasarkan Stbl 365 Tahun 1926. Gemeente Probolinggo selanjutnya menjadi Kota Probolinggo berdasarkan Ordonansi pembentukan kota  (Stbl. 1928 No.500).
Sejak tahun 1918 Gemeente Probolinggo dipegang/dijabat oleh seorang Asisten Residen (di bawah Karesidenan Pasuruan). Baru tahun 1928 diangkat seorang Burgemeester (Walikota) sebagai kepala daerah yang berkuasa penuh. Pada tahun 1929 Probolinggo pernah menjadi Ibukota Karesidenan Probolinggo. Burgemeester (Walikota) Probolinggo pertama ialah Tn. Meyer. Tahun 1935 pangkat Burgemeester untuk Stadsgemeente Probolinggo dihapus dan sebagai pejabat diangkat Asisten Residen yang berkedudukan di Probolinggo (1935-1942) yaitu LA. de Graaf dan diganti L. Noe.
Pemerintah Kota Probolinggo Di Awal Indonesia Merdeka
Pemerintah penjajah/Hindia Belanda setelah kekuasaanya di Indonesia diganti oleh pemerintah/ penjajah Jepang dan kemudian Indonesia menjadi negara merdeka, berambisi kembali untuk tetap menguasai/menjajah Indonesia. Tanggal 21 Juli 1947 Kota Probolinggo diduduki oleh tentara kolonial Belanda. Diangkatlah seorang Asisten Residen Bayangan dan sebagai Bergemeester diangkat Saudara Saroso Harsono menjadi Walikota RI. Pada masa Pemerintahan Raden Soejoed Alip, Bupati Probolinggo ke 21, Kabupaten Probolinggo pada pertengahan bulan Pebruari 1948 dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 201). Gemeente Probolinggo dihapus dan disatukan dengan Kabupaten Probolinggo (berdasarkan Staatsblad 1948 No. 306).

Daftar Rujukan
Basri, Syachrial. 2004. Kota Probolinggo Menuju Masa Depan. Probolinggo: Pemerintah Kota Probolinggo.
Susanto, Agus. 2008. Ekspedisi Anjer Panaroekan.Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Vlekke, Bernard H.M. 1958. Nusantara Sejarah Indonesia. Leiden: Universitas Leiden.