by. Ika Sambita Girinandi
Abstrak. Alat musik merupakan gambaran dari ungkapan jiwa seseorang. Suatu
alat musik mempunyai sejarah tersendiri. Terlihat dari nama alat musik berikut
yang mencerminkan bagian dari peristiwa sejarah tersebut. Dengan demikian alat
musik baik tradisional maupun modern penting untuk diketahui agar dimengerti
sejarah perindustrian tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui sejarah perindustrian suatu desa, khususnya di Desa Santren. Dari
data-data yang diperoleh diketahui bahwa alat musik Kendang Jimbe merupakan
alat musik unggulan desa Santren dan kota Blitar.
Kata-kata kuci: Desa Santren, Alat musik, Kendang Jimbe
Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern
sangat banyak terbentang dari
Sabang hingga
Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki
musik
tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional
termasuk juga
keroncong
yang berasal dari keturunan
Portugis. Di daerah
Tugu,
Jakarta
yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga
musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama
dangdut
yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga
musik dangdut ini sangat berbeda dengan musik tradisional Melayu yang
sebenarnya, seperti musik Melayu Deli, Melayu Riau, dan sebagainya.
Siapa yang pernah tahu jumlah pasti alat musik tradisional
Indonesia. Sungguh
sebuah kekayaan intelektual milik budaya Indonesia yang tidak ternilai harganya.
Namun dilain pihak banyak pula yang tidak mengetahui bahkan sama sekali belum
pernah mendengar alat musik tradisional tersebut dimainkan, ditengah derasnya
industri musik modern alat musik tradisional ini semakin terpinggirkan. Alat musik tradisional Indonesia atau yang biasa juga disebut dengan alat musik
daerah Indonesia sangat banyak sekali karena biasanya masing-masing provinsi
mempunyai alat musik tradisional masing-masing.
Banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia ‘dicuri’ oleh negara
lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan
mematenkan hak cipta seni budaya dari Indonesia. Seperti yang pernah dilakukan
negara tetangga yang menjadikan alat
musik Angklung dan Gamelan dari Jawa sebagai alat musik yang berasal dari
Malaysia. Tidak terkecuali pula dengan kebudayaan yang dimiliki Indonesia, yang
tidak jauh beda dengan nasip alat musik tradisional tersebut. Sedikit kita
melihat cerita tentang pengklaiman yang dilakukan Malaysia terhadap alat musik
tradisional Indonesia yaitu Angklung.
Sekitar tahun 2010 lalu, alat musik Angklung yang berasal
dari Jawa Barat ternyata diklaim oleh Malaysia sebagai miliknya. Untungnya hal
ini berakhir baik, dengan Angklung sebagai alat musik bambu Indonesia yang dikukuhkan
sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO atau “World Intangible
Heritage” menyatakan alat musik tersebut berasal dari Indonesia pada November
2010. Maka tidak akan ada lagi negara lain yang mengaku (klaim) Angklung
berasal dari negara mereka. Selain adanya pengamanan dan pengakuan Angklung
sebagai warisan budaya dunia, juga akan berdampak secara ekonomis. Para perajin
Angklung akan diuntungkan dengan mendapatkan banyak pesanan Angklung dari dalam
dan luar negeri.
Dengan adanya hak paten yang dimiliki Indonesia dapat sedikit
menenangkan hati masyarakat Indonesia untuk terus berkreasi dan berkarya. Hal
ini juga menjadi hasil bagi kesenian Indonesia bagi dari alat musik
tradisional, kebudayaan yang dimiliki Indonesia dan lain sebagainya. Selain itu
menjadikan pelajaran yang paling berharga untuk melestarikan kebudayaan
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dan menjadi dasar bagi penulis dalam
menulis tentang sejarah kerajinan untuk menentukan sumber budaya yang dimiliki
dan menjadi identitas bangsa Indonesia.
Sejarah
kerajinan pada dasarnya penting untuk diketahui agar dimengerti asal-usul dari
kerajinan tersebut. Pengetahuan tentang sejarah kerajinan dapat dilakukan
dengan mengetahui kerajinan tersebut, kemudian juga harus diketahui orang yang
dianggap mengembangkan industri tersebut. Satu hal lagi yang penting untuk
diketahui, yaitu mengenai sumber-sumber yang berupa sumber lisan (wawancara),
maupun artefaktual (benda-benda yang ada) dari kerajinan yang sampai saat ini
masih tetap diproduksi dan dikembangkan ke luar daerah itu. Hal itu semua dapat
digunakan untuk mengungkap sejarah dari suatu kerajinan atau alat musik
tradisional yang diproduksi di daerah ini.
Dalam
artikel ini penulis meneliti mengenai sejarah kerajinan kendang Jimbe.
Khususnya yang manjadi studi kasus adalah Desa Santren yang berada di Kelurahan
Tanggung, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur. Hal itu
dilakukan karena di Desa Santren terdapat suatu perindustrian kerajinan asing
yang kemudian dijadikan acuan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat
setempat. Perindustrian kerajinan tersebut adalah Kendang Jimbe yang berada di
desa Santren dan hampir semua masyarakat membuat dan mengembangkan industri
tersebut. Diperkirakan kerajinan tersebut merupakan alat musik tradisional yang
berasal dari luar Indonesia.
Oleh karena itu,
penulis meneliti mengenai sejarah kawasan perindustrian kerajinan Kendang Jimbe
di Desa Santren, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar, Provinsi
Jawa Timur. Hal itu dilakukan agar diperoleh informasi mengenai awal mula nama
Jimbe dan perkembangannya di Indonesia yang khususnya di desa Santren dan
sekitarnya tersebut. Selain itu juga untuk memaparkan bukti-bukti yang
mendukung dalam sejarah kerajinan kendang Jimbe tersebut agar diperoleh fakta
yang akurat dalam penelitian ini. Untuk menganalisis hal tersebut dibutuhkan
suatu pemahaman dan pengetahuan yang konkret mengenai sejarah, perkembangan,
dampak, jumlah dan pemasaran kendang Jimbe tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan 1)
Mengkaji sejarah Kendang Jimbe, 2) Menganalisis bukti-bukti sejarah yang
mendukung dalam perkembangan, jumlah dan pemasaran dari Kendang Jimbe tersebut.
Metode
Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif yang berupaya menjelaskan mengenai sejarah kerajinan Kendang Jimbe. Menurut
Soejono penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecah masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek/ objek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Selain itu juga
menganalisis bukti-bukti masuknya kerajinan Kendang Jimbe tersebut ke desa
Santren dan fakta-fakta yang terkumpul ketika pada saat pencarian sumber data.
Selain itu juga menggunakan metode penelitian sejarah, yang terdiri dari
pemilihan tema, heuristik, kritik intern dan ekstern, interpretasi, dan yang
terakhir adalah historiografi.
Subjek
penelitian yang digunakan adalah beberapa pengusaha Kendang Jimbe di desa
Santren. Pembahasan yang lebih mendalam yaitu mengenai sejarah kerajinan Kendang
Jimbe dan bukti-bukti yang mendukung sejarah Kendang Jimbe tersebut. Sejalan
dengan subjek penelitian, sumber-sumber data dari penelitian ini adalah arsip
penjualan Kendang Jimbe untuk tiap bulannya,
serta pendapat para informan mengenai sejarah kendang tersebut.
Penelitian
ini mengambil lokasi di Jawa Timur, yakni di Desa Santren, Kecamatan Kepanjen
Kidul, Kota Blitar. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dikarenakan oleh
kenyataan bahwa awal pembuatan Kendang Jimbe hanya ada di desa tersebut. Tetapi
juga ada sebagian kecil yang terdapat di luar daerah itu, seperti daerah lain
yang sama memproduksi Kendang Jimbe. Selain itu juga letak lokasi penelitian
yang mudah dijangkau karena dekat dengan tempat tinggal peneliti.
Metode
pengumpulan data yang digunakan yaitu 1) Observasi dengan peneliti terjun
langsung ke lapangan dan 2) Membaca beberapa literatur mengenai sejarah Kendang
Jimbe dan juga perkembangannya di dunia perdagangan. Analisis data tersebut
dilakukan dengan cara menghubungkan antara literatur mengenai sejarah dan perkembangan
Kendang Jimbe dengan kondisi nyata di Desa Santren. Setelah itu dilakukan
penarikan kesimpulan mengenai bagaimana sejarah Kendang Jimbe di desa Santren.
Yang mana pada akhirnya dapat disusun menjadi sebuah tulisan sejarah kerajinan
Kendang Jimbe di desa Santren.
Sejarah
Jimbe
Kata
Jenbe/Jyembe/Jembe/Jimbay/Jimbe/Sanbanyi merupakan warisan budaya yang berasal
dari daerah Afrika. Asal usul kata Djembe berasal dari Kerajaan Mali tepatnya
sekitar abad XII. Dari semua alat musik pukul yang ada di Afrika alat musik
yang paling terkenal adalah djembe yang mengilhami pembuatan drum di seluruh
dunia. Asal mula ejaan “jembe” berasan dari huruf “dj” yang merupakan simbol
untuk mengingat bahwa bangsa Afrika dulu pernah dijajah oleh Perancis.
Sedangkan kata djembe berasal dari kata “dyembe” yang merupakan kata dari suku
Mali. Menurut bangsa Mali, djembe berasal dari kata “Anke dje” yang artinya
semua orang berkumpul bersama-sama. Karena orang Perancis terbiasa dengan
menggunakan huruf “J”, maka lebih sering menggunakan kata djembe. Konon huruf
“J” ini sebagai simbol untuk mengingat sakitnya dijajah oleh Perancis.
Djembe merupakan sebuah
kayu yang berbentuk gelas dan ditutup oleh kulit yang diikat dengan tali untuk
mengencangkannya. Pada jaman dahulu djembe digunakan sebagai alat komunikasi
antara desa satu dengan desa yang lainnya. Mengingat pada masa itu jarak antara
desa satu dengan yang lainnya sangat jauh. Pada perkembangannya, jimbe
digunakan untuk perlengkapan upacara-upacara tradisional masyarakat Afrika.
Menurut kepercayaan orang Afrika terdapat 3 kekuatan roh di dalamnya. Pertama, adalah roh dari kayu atau pohon
yang menggambarkan kekuatan, ketegasan, penopang dan pelindung. Kedua, adalah roh dari hewan atau kulit
yang menggambarkan kemakmuran dan kesejahteraan. Ketiga, adalah pembuat djembe itu sendiri yang menggambarkan
semangat dari pembuatnya.
Ada kesepakatan umum
bahwa asal mula djembe dikaitkan dengan kasta Mandinka dari pandai besi yang
dikenal sebagai Numu. Karena penyebaran luas dari drum djembe seluruh Afrika
Barat mungkin adanya migrasi Numu selama milenium pertama Masehi. Meskipun
asosiasi dari djembe dengan Numu itu, tidak ada pembatasan keturunan pada siapa
yang dapat menjadi djembefola (harfiah, “satu yang memainkan djembe”). Hal ini
berbeda dengan instrumen yang penggunaannya dicadangkan untuk anggota
kastagriot, seperti balafon, kora, dan Ngoni (djembe bukan merupakan instrumen
griot). Siapapun yang bermain djembe disebut sebagai djembefola, sehingga istilah
ini tidak berarti tingkat tertentu dalam keterampilan.
Secara geografis,
distribusi tradisional djembe dikaitkan dengan Kekaisaran Mali yang tanggal
kembali ke 1230 AD dan termasuk bagian dari modern negara Guinea, Mali, Burkina
Faso, Pantai Gading, dan Senegal. Karena kurangnya catatan tertulis di negara-negara
Afrika Barat, sehingga tidak jelas djembe telah ada sebelum atau sesudah
Kekaisaran Mali. Akan tetapi, sejarah djembe mencapai kembali untuk beberapa
abad dan mungkin lebih dari satu milenium yang lalu. Bentuk piala djembe menunjukkan
bahwa awalnya telah dibuat dari mortir. Mortir sendiri banyak digunakan di
Afrika Barat untuk persiapan makanan.
Dalam sumber lain,
menyebutkan bahwa kendang
jimbe
sendiri berasal dari Afrika yang tepatnya dari negara Zimbabwe.
Saat ini,
kendang Jimbe menjadi sangat populer
di Indonesia dengan membawa inovasi terbaru di bidang seni. Akan tetapi, masyarakat Indonesia
tidak bisa melafadzkan Zimbabwe yang menggunakan dialek Jawa, sehingga lahir
lafadz jimbe dan populer hingga saat ini.
Berikut nama-nama drumer djembe yang masih aktif dalam penyebaran
djembe: C.G. Ryche (U.S.A.), Mansa Camio (Guinea), Abdoulaye Diakite (Senegal),
Abdoul Doumbia (Mali), Bolokada Conde (Guinea), Drissa Kone (Mali), Séga Sidibé
(Mali), Famoudou Konaté (Guinea), Ibrahima Sarr (Mali), Maré Sanogo (Mali),
Mamady Keïta (Guinea), Mamady “Wadaba” Kourouma (Guinea), Moussa Traoré (Mali),
Iye (Perkusi Asian Roots, Indonesia). Sedangkan berikut ini adalah drumer yang
meninggal/pensiun: Babatunde Olatunji (Nigeria), Soungalo Coulibaly (Mali),
Yamadu Bani Dunbia (Mali), Fadouba Oularé (Guinea Conakry), Opa Teddy Wardhana
(Perkusi Steven & Coconuttreez,
Indonesia).
Perkembangan
Kendang Jimbe di desa Santren
Sebelum membahas mengenai perkembangan Kendang
Jimbe, sedikit kita mengetahui sejarah masuknya Kendang Jimbe di desa Santren.
Dahulunya masyarakat sekitar di desa Santren bermata pencaharian bubut kayu
yang berupa membuat mainan anak-anak seperti yoyo, ontong-ontong dan masih
banyak lagi. Selain itu kebanyakan para pengusaha membuat Kendang Jawa ataupun
Kendang Bali. Suatu ketika saat salah seorang warga dari desa Santren ini
memasarkan hasil bubutannya yang berupa Kendang Jawa ataupun Kendang Bali. Dia
ditawarkan oleh seorang turis asing yang menawarkan untuk membuat Kendang Jimbe
tersebut. Hingga ada seorang buruh bubut yang dipercaya beberapa pengusaha
Kendang untuk mencoba membuat Kendang Jimbe yang berasal dari Afrika tersebut.
Ketika seorang buruh tersebut dapat membuat Kendang Jimbe yang sama persis
dengan Kendang Jimbe yang dibawa turis asing tersebut dari Afrika, maka banyak
buruh bubut yang mencoba untuk membuat Kendang tersebut. Setelah beberapa buruh
berhasil membuat Kendang Jimbe tersebut Kendang Jawa dan Bali sudah tidak
seperti dahulu yang laris dipasaran. Banyak turis asing maupun turis lokal yang
tertarik dengan Kendang Jimbe tersebut. Menurut mereka Kendang Jimbe ini
mempunyai keunikan dan keindahan yang berbeda dengan Kendang Jawa dan Bali.
Industri adalah semua kegiatan manusia yang bersifat
produktif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berbentuk barang dan jasa, dengan
jalan menstranformasikan faktor-faktor produksi untuk mendapatkan nilai tambah (added
value) yang lebih tinggi. Kegiatan industri sangat mengandalkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sedangkan faktor-faktor produksi adalah sumber daya alam, sumber
daya manusia, modal dan teknologi serta ketrampilan manajemen (skill) (Partomo, 2008 : 1).
Industri kerajinan bubut kayu adalah salah satu
industri komoditi andalan kota Blitar. Industri kerajinan bubut kayu
menghasilkan berbagai macam produk, diantaranya adalah Kendang Jimbe dengan
berbagai ukuran, Yoyo, Asbak, catur, ontong-ontong dan ketapel. Usaha kerajinan
bubut kayu menggunakan bahan baku kayu mahoni dan berbahan bakar solar, serta
bahan pembantu yaitu pirtus dan bensin. Sentra industri bubut kayu tersebut
berada di kecamatan Kepanjen Kidul, kelurahan Tanggung, desa Santren. Jumlah
Industri kerajinan kayu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal
ini dikarenakan Industri kerajinan tersebut menjadi salah satu sumber
pendapatan, selain itu Industri kerajinan bubut kayu yang berada di lingkungan Santren
yang merupakan industri rumah tangga yang
dikelola secara turun temurun. Sehingga industri kerajinan bubut kayu sudah menjadi
ciri khas masyarakat Santren serta menjadi sumber penggerak ekonomi di Desa
Santren. Penduduk desa Santren.
Blitar mempunyai mata pencaharian yang begitu beragam dari mulai petani, buruh,
pedagang, pegawai sipil, dan bahkan pengusaha. Mata pencaharian Kelurahan
Tanggung kecamatan Kepanjen Kidul sebagian besar penduduk bekerja sebagai
wiraswasta dengan jumlah 1.475 orang.
Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang
berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kegiatan
ekonomi rakyat yang berskala kecil adalah kegiatan ekonomi yang dimiliki dan
menghidupi sebagian besar rakyat. Usaha kecil tersebut mencangkup usaha kecil
formal, informal dan usaha kecil tradisional (Tohar, 2000 : 15). Hal ini
menggambarkan keadaan yang berada di desa Santren yang awalnya membuka usaha
kecil dengan skala kecil dan memenuhi kriteria. Usaha tersebut berhasil dengan
dukungan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar di desa Santren sehingga usaha-usaha
yang dilakukan masyarakat tersebut dapat berjalan lancar.
Dalam penelitian yang dilakukan Jannah (2010) mengenai profitabilitas industri
kerajinan bubut kayu di Blitar menjelaskan penjualan kerajinan kayu tersebut telah
tersebar ke luar kota. Penjualan kerajinan ini dikirim ke berbagai kota
misalnya Bali, Malang, Jogjakarta dan sekitarnya. Potensi industri kecil di
Blitar memang patut diunggulkan. Terutama barang kerajinan kayu telah mencapai
pasar ekspor. Diantaranya menembus pasar Eropa, Asia, dan Amerika Serikat. Hal
ini dikarenakan kerajinan bubut kayu disukai kolektor-kolektor seni
mancanegara.
Menurut penelitian Wiyanto (2007) mengenai
pengembangan industri kecil desa Tanggung, kota Blitar, menjelaskan bahwa
pengembangan industri kerajinan bubut kayu membawa perubahan yang cukup besar
terhadap para pengrajin dan para masyarakat luas dalam kehidupannya. Perubahan
tersebut meliputi perubahan pada lapangan pekerjaan, pada pendidikan dan peran
serta wanita. Perekonomian masyarakat yang dulunya petani, kini berubah pada
hasil kerajinan yang mereka hasilkan. Perubahan yang terjadi tersebut terjadi
pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan ditandai dengan sudah
terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat, semakin baiknya kualitas bangunan yang
dimiliki, semakin baiknya tingkat pendidikan masyarakat dan semakin baiknya
tingkat keamanan wilayah mereka dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam
penelitian yang dilakukan penulis kepada beberapa informan menyebutkan bahwa
masyarakat desa Santren rata-rata bermata pencaharian bubut. Bubut sendiri
yakni sebuah metode untuk mengolah kayu menjadi barang yang bersifat kerajinan.
Awal pembuatannya dengan menggunakan tenaga manual, yaitu dengan menggunakan
kaki dan peralatan sederhana. Seiring perkembangan teknologi sekarang lebih
banyak menggunakan diesel untuk pengerjaannya. Produk yang dibuat dalam proses
pembuatan bubut ini diantaranya, berupa catur, stempel, mainan
yoyo, tempat putung rokok, asbak, vas bunga, ontong-ontong, alat pemijat dan
masih banyak lagi. Sehingga masyarakat disini terkenal dengan kerajinan yang
terbuat dari kayu.
Menurut Bapak
Ahwani yang merupakan salah satu pengusaha Kendang
Jimbe di desa
Santren menjelaskan bahwa dahulu saya dan teman-teman pengusaha lainnya sempat
memproduksi kendang yang berasal dari Bali atau bahkan kendang Jawa. Pada waktu
itu, hampir semua pengusaha kendang Jimbe di desa ini dahulunya memproduksi
kendang yang berasal dari Bali atau bahkan kendang Jawa tersebut. Karena
menurut kami semua pembuatan kendang tersebut sangatlah mudah, akan tetapi
lama-kelamaan turis-turis menawarkan kepada kami untuk membuat kendang Jimbe.
Dengan pesanan untuk membuat kendang seperti yang
dicontohkan, akhirnya para penduduk sekitar desa Santren mencoba untuk
membuatnya. Dan akhirnya para penduduk terutama dari desa Santren bisa membuat
kendang tersebut. Selain itu, keuntungan yang di dapat juga sangat besar dengan
modal yang besar pula. Setelah permintaan kendang Jimbe di pasaran melonjak,
lama-kelamaan kami fokus memproduksi kendang Jimbe saja.
Selain
itu, biasanya Bapak Ahwani memasarkan kerajinan kendang Jimbe tersebut ke Bali,
karena menurut beliau disana banyak turis asing yang tertarik dengan alat musik
tradisional, terutama kendang Jimbe ini. Beliau
lebih memanfaatkan pulau Bali sebagai pusat pemasarannya. Tidak seperti Bapak Samsul Huda
yang memasarkan Kendang Jimbe tersebut ke
Yogyakarta. Dan nantinya kendang Jimbe tersebut akan di pasarkan oleh temannya
ke negara-negara di Eropa terutama di Belanda.
Situasi
tersebut berbeda dengan keterangan yang diberikan oleh
Bapak Pramu yang memasarkan ke Bali menjadi pilihan utamanya. Selain itu juga
mengirimnya ke Tulungagung, Yogyakarta, Banyuwangi, Lumajang, Surabaya, Pekalongan, Lamongan, dan Bandung.
Dan beberapa negara di Eropa dan Asia, seperti negara Turki, Chili, Tunesia dan
Thailand. Mungkin tindakan yang dilakukan Bapak Pramu hampir sama dengan
pengusaha Kendang Jimbe yang lainnya, yaitu
jika ada sedikit masalah dengan pemasaran hal yang saya lakukan adalah
memasarkan sendiri ke masing-masing daerah tersebut.
Menurut para informan di atas, pelanggan sangatlah
berarti untuk pelayanan yang mereka berikan kepada para konsumen. Sehingga
mereka dapat meningkatkan kualitas mereka dalam memproduksi pemesanan
selanjutnya. Dan kebanyakan dari para informan menyatakan banyak pengunjung
yang langsung datang ke kios ataupun ke tempat kerja mereka. Hal ini menjadi
suatu hal yang sangat menarik bagi kami, meskipun sekarang kendang Jimbe asli
buatan desa Santren sudah tidak seperti dulu lagi. Ternyata masih banyak
pengunjung yang masih mempercayakan kepada kami. Hingga mereka datang langsung
ke desa Santren untuk melihat pembuatannya secara langsung. Hal ini juga
merupakan daya tarik tersendiri dari Kampung wisata kota Blitar, agar mereka
mengetahui bahwa tidak hanya Kendang Jimbe saja yang menjadi produk buatan kota
Blitar.
Dampak dari
Kendang Jimbe di desa Santren
Dengan adanya Kendang Jimbe ini, membawa dampak tersendiri bagi masyarakat desa
Santren dan pemerintah kota Blitar. Selain itu, kendang Jimbe juga berdampak
bagi perdagangan dunia. Dimana perkembangan Kendang
Jimbe sendiri
sudah sampai ke luar negeri. Meskipun demikian, Kendang
Jimbe masih
dipandang rendah oleh pemerintah yang tidak pernah berantusias dalam mendukung
pemproduksian Kendang Jimbe ini.
Menurut
keterangan Bapak Ahwani, saat kami meminta surat perijinan kepada pemerintah
kota Blitar. Mereka heran mengapa kami dapat memproduksi Kendang Jimbe dan mereka sempat tertawa ketika kami mengatakan akan
mengirim Kendang Jimbe tersebut ke
pulau Bali. Setelah beberapa hari mereka mendengar antusias turis yang menyukai
Kendang Jimbe, mereka memberikan dukungan secara moril. Mereka
tidak pernah memberikan dukungan berupa bahan-bahan yang akan kami gunakan
membuat Kendang Jimbe. Hal ini menjadikan penilaian tersendiri bagi kami
bahwa pemerintah kota Blitar hanya memberikan dukungan dan merespon industri Kendang Jimbe di desa Santren dengan baik. Akan tetapi sekitar tahun
2008 banyak orang yang berlomba-lomba untuk memproduksi Kendang Jimbe. Dan kebanyakan dari mereka adalah teman-teman dari
desa sebelah, seperti desa Sentul dan Tanggung. Sekarang ini banyak yang
mengatakan bahwa Kendang Jimbe berasal dari
desa Sentul dan desa Tanggung.
Meskipun
demikian, para pengusaha Kendang Jimbe desa Santren
tidak putus asa untuk menanggapinya. Mereka tidak terlalu menghiraukan masalah
tersebut dan mereka tidak takut untuk kehilangan pelanggan mereka. Saya dan
teman-teman yang lain membuat Kendang Jimbe dengan
menggunakan motif yang berbeda-beda dan sesuai selera kita masing-masing,
keterangan dari Bapak Samsul Huda. Hal ini yang membedakan dengan Kendang Jimbe produksian desa lain (desa Sentul dan desa Santren).
Dampak lain
dari adanya industri adalah antusias yang dimiliki masyarakat sekitar desa
Santren. Setidaknya para pengusaha Kendang Jimbe tersebut memberikan lapangan
pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang mereka miliki yaitu bubut. Selain
bubut, bidang lain yang dari dahulu sampai sekarang masih dilakukan adalah
pemlituran. Dimana pemlituran ini memberikan warna pada Kendang Jimbe agar
terlihat warnanya yang terkesan indah dan unik. Hal ini digunakan untuk menarik
perhatian pembeli. Untuk para pemuda sekitar biasanya mereka menggunakan
keterampilan yang masih mendukung adanya Kendang Jimbe, yaitu bagian painting.
Pada bagian ini masyarakat membuat bentuk ukiran hewan atau membuat pewarnaan
sekreatif mungkin agar terlihat indah untuk para pembeli. Sehingga hal ini
dapat menjadi ciri khas bagi masyarakat sekitar yang dapat diselaraskan dengan
bakat yang dimiliki masyarakat desa Santren.
Selain
itu, desa Santren ini disebut sebagai kawasan Kampung wisata kota Blitar.
Dimaksudkan menjadi kawasan khusus dalam kesatuan wilayah kota Blitar, yang
didalamnya memuat tatanan sistem serta lingkungan fisik dan non fisik dengan
menonjolkan potensi andalan sebagai komoditi unggulan wisata utama. Keberadaan
kampung wisata akan menjadi media pendukung Kawasan wisata Makam Bung Karno
yang memiliki peran penting dalam menopang perekonomian dalam sektor
perdagangan, kerajinan dan jasa. Terutama untuk perindustrian Kendang Jimbe
yang sampai saat ini masih menjadi sektor perekonomian terbesar di kota Blitar.
Desa
Santren yang terletak di kecamatan Kepanjen Kidul ini sangat strategis untuk
dikembangkan menjadi pusat pariwisata yang mendukung keberadaan kawasan kampung
wisata Bung Karno dengan skala layanan regional dan nasional. Kawasan ini
berada di kelurahan Tanggung dikembangkan sebagai sentra kerajinan bubut kayu
dan tepatnya di desa Santren. Banyak sekali yang menjadi sentar kerajinan bubut
kayu yang salah satunya adalah Kendang Jimbe. Dengan adanya Kendang Jimbe
tersebut diharapkan dapat mendukung sektor dalam bidang perekonomian kota
Blitar. Selain itu juga dapat menyerap tenaga kerja baik dari desa maupun dari
luar desa Santren sendiri.
Jumlah dan
pemasaran Kendang Jimbe
Jenis kendang ini merupakan jenis alat perkusi yang cara memainkannya
dengan cara dipukul dengan menggunakan dua tangan. Sehingga
banyak beberapa metode yang
dapat digunakan untuk
memukul kendang ini.
Diantaranya ada 4 buah metode untuk memukulnya dengan menghasilkan suara yang berbeda-beda. Misalnya tone
dengan suara bass atau dengan slap akan menghasilkan nada yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Jika kita bisa memadukannya
dengan baik maka akan menghasilkan irama jimbe yang berkualitas. Apalagi kalau dimainkan dengan secara berkelompok maka
akan menghasilkan kolaborasi yang menarik untuk dinikmati.
Berdasarkan data yang
diperoleh dari Dinas Perindustri Dan Perdagangan kota Blitar (DIPERINDAG) dapat
diketahui bahwa industri kerajinan bubut kayu yang berada di lingkungan
tanggung santren Kecamatan kepanjenkidul berjumlah 329 industri kerajinan
kerajinan bubut kayu, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel
1.1 Jumlah Industri Bubut Kayu
bulan Januari 2011
No.
|
Jenis Industri
|
Jumlah
|
1.
|
Industri
besar
|
3
|
2.
|
Industri
sedang
|
236
|
3.
|
Industri
kecil
|
90
|
Jumlah
|
329 industri
|
Sumber
: Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DIPERINDAG) kota Blitar, Desember 2011
Populasi industri
kerajinan bubut kayu sebanyak 329 industri. Yang dimaksud dalam populasi
industri kerajinan bubut kayu dalam penelitian ini adalah industri kerajinan
bubut kayu yang secara aktif terlibat dalam proses pembuatan kerajinan kayu
hingga pada akhirnya dijual, baikindustri besar maupun kecil.
Secara keseluruhan jumlah unit usaha baik industri
formal maupun industri nonformal mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya.
Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel. Berikut:
Tabel
1.2 Peningkatan Unit Usaha Formal dan Nonformal
Kota
Blitar Tahun 2011
No.
|
Jenis Industri
|
Tahun
|
2009
|
2010
|
2011
|
1.
|
Industri Formal
|
3.223
|
3.022
|
3.077
|
2.
|
Industri Nonformal
|
4.148
|
4.145
|
4.154
|
|
Jumlah
|
7.371
|
7.167
|
7.231
|
Sumber
: Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DIPERINDAG) kota Blitar, Desember 2011
Peningkatan jumlah industri dan pertumbuhan yang
senantiasa positif diatas mampu berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja
yang lebih baik. pertumbuhan daya serap industri pada tenaga kerja terampil di
kota Blitar sebesar 0,89 % di tahun 2011. Berikut ini adalah grafik penyerapan tenaga
kerja di sektor industri:
Tabel
1.3 Tingkat Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri
Kota
Blitar Tahun 2011
No.
|
Jenis Industri
|
Penyerapan
Tenaga Kerja Tahun
|
2009
|
2010
|
2011
|
1.
|
Industri Formal
|
3.223
|
3.022
|
3.077
|
2.
|
Industri Nonformal
|
4.148
|
4.145
|
4.154
|
|
Jumlah
|
7.371
|
7.167
|
7.231
|
Sumber
: Dinas Perindustrian dan Perdagangan (DIPERINDAG) kota Blitar, Desember 2011
Dari data di atas,
dapat menunjukkan bahwa industri yang berada di desa Santren ini menjadi sektor
industri kerajinan kayu utama di kota Blitar. Hal ini dirasakan oleh beberapa
informan yang menyatakan penjualan Kendang Jimbe berdasarkan keadaan ekonomi.
Ditunjukkan dengan penjualan beberapa bulan terakhir. Berikut:
Tabel
1.4 Perbandingan Penjualan Pengusaha Kendang Jimbe per bulan Agustus-Oktober
2012
No.
|
Nama Pengusaha
|
Bulan
|
Agustus
|
September
|
Oktober
|
1.
|
Bapak
Ahwani
|
1.534
|
1.283
|
1.892
|
2.
|
Bapak
Samsul Huda
|
1.948
|
1.726
|
1.532
|
3.
|
Bapak
Nurhadi
|
1.467
|
1.629
|
1.593
|
4.
|
Bapak
Pramu Hariyanto
|
1.543
|
1.789
|
2.023
|
Dari daftar tabel di
atas, menunjukkan penjualan dari masing-masing informan yang diproduksinya
dalam berbagai bentuk ukuran yang berbeda-beda dengan harga yang berbeda-beda
pula. Dengan memproduksi Kendang Jimbe setiap bulan tersebut menunjukkan bahwa
Kendang Jimbe tetap menjadi sektor perdagangan utama di kota Blitar. Akan
berbeda pula dengan kerajinan yang lain seperti yoyo, ontong-ontong, asbak,
ketapel dan sebagainya. Karena keuntungan yang dihasilkan dari kerajinan
Kendang Jimbe ini sangat besar mengalahkan perdagangan kerajinan lain.
Pembuatan tersebut tergantung dari kualitas dan tujuan yang dimiliki oleh
setiap pengusaha. Seperti halnya Bapak Samsul Huda yang mengupayakan kualitas
terbaik pada pembuatan Kendangnya, dengan cara membuatkan pesanan Kendang Jimbe
tepat waktu dan sesuai dengan permintaan konsumen.
Selain itu, pemasarana
yang dilakukan oleh masing-masing informan juga berbeda-beda. Akan tetapi,
hampir semua informan memasarkannya ke Bali. Menurut mereka Bali merupakan
tempat para turis yang menyukai keindahan yang tergambarkan oleh pemandangan
pulau Bali tersebut. Termasuk menyukai budaya masyarakat Indonesia yang salah
satunya adalah alat musik Kendang Jimbe ini. Banyak turis asing yang menyukai
Kendang Jimbe ini, terkadang mereka datang langsung ke desa Santren untuk
melihat proses pembuatan mulai dasar kayu mahoni sampai proses finishing. Hal
ini menjadi ciri khas desa Santren yang mempunyai keindahan yang berupa alat
musik tradisional Kendang Jimbe dan menjadi kebanggaan bagi kota Blitar.
Kehadiran Kendang Jimbe membawa perubahan bagi masyarakat desa Santren yang
dahulunya menjadi buruh bubut kayu, sehingga mereka sekarang dapat memproduksi
Kendang Jimbe ini.
Penutup
Sejarah perindustrian Kendang Jimbe bercermin dari nama suatu alat
komunikasi. Diperkirakan alat komunikasi tersebut merupakan peninggalan
Kerajaan Mali tepatnya sekitar abad ke XII yang terdapat di Afrika. Belum
diketahui secara pasti apa yang melatarbelakangi alat yang digunakan sebagai alat komunikasi tersebut masih ada sampai
sekarang. Karena kehadiran alat tersebut di Indonesia dibawa oleh turis asing. Diperkirakan
alat tersebut menjadi daya tarik keindahan tersendiri bagi mereka untuk
mengoleksi barang tersebut. Di Indonesia, alat tersebut diproduksi di desa
Santren yang digunakan sebagai alat musik tradisional di Indonesia.
Orang yang berperan penting dalam pendirian Kendang Jimbe sebagai
pembuat pertama di desa Santren adalah Bapak Sudirman. Beliau dianggap oleh
masyarakat setempat sebagai orang pertama yang membuat contoh yang dibawa oleh
turis asing tersebut. Beliau merupakan salah seorang yang ditawarkan pertama
kali kepada turis tersebut untuk membuat Kendang Jimbe tersebut. Akan tetapi
sering berjalannya waktu banyak masyarakat sekitar yang mengikuti jejak beliau.
Selain itu, Kendang Jimbe merupakan salah satu produk unggulan kota Blitar yang
sudah menembus pasar dunia. Pemasarannya sering dikirimkan ke Bali dan beberapa
kota lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, Tulungagung, dan lain-lain.
Kebanyakan dari pengusaha Kendang Jimbe di desa Santren memproduksi sekitar
1500-2000 buah Kendang Jimbe per bulannya. Peran masyarakat dan pemerintah kota
Blitar sangat penting dalam meningkatkan kualitas yang dimiliki setiap
pengusaha Kendang Jimbe di desa Santren ini. Karena sudah menjadi produk unggulan
kota Blitar yang sudah terkenal sampai ke mancanegara.
Daftar
Rujukan
ArsArsip
Laporan Keperindustrian bulan
Januari 2011.
Buku
Partomo, Tiktik S. 2008. Ekonomi Industri,
Jakarta: Penerbit Inti Prima.
Tohar, 2000. Membuka Usaha
Kecil, Yogyakarta: Penerbit Kamisius.
Skripsi,
Thesis, dan Disertasi
Jannah,
N.S. Hubungan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
dan Pasar terhadap Profitabilitas Industri Kerajinan Bubut Kayu di Blitar. Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. 2010. Tidak
diterbitkan.
Wiyanto, W.T. Pengembangan Industri Kecil dalam
Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Studi Kasus pada Industri Kecil
Kerajianan Bubut Kayu Desa Tanggung Kecamatan Kepanjen Kidul kota Blitar).
Skripsi UB Malang. 2007. Tidak diterbitkan.
Website
Wawancara
1. Bapak
H. Muh. Ahwani (50 tahun), pengusaha Kendang Jimbe (Wirausaha)-Santren.
Wawancara 16 November 2012.
2. Bapak
Samsul Huda (41 tahun), pengusaha Kendang Jimbe (Wirausaha)-Santren. Wawancara
17 November 2012.
3. Bapak
Nurhadi (39 tahun), pengusaha Kendang Jimbe (Wirausaha)-Santren. Wawancara 23
November 2012.
4. Bapak
Pramu Hariyanto (44 tahun), pengusaha Kendang Jimbe (Wirausaha)-Santren.
Wawancara 24 November 2012.